Pada suatu pagi yang biasa dari musim yang sudah kulupa kutemukan nama-Mu bersama cahaya dan sejak itulah aku ngembara mencari Engkau tanpa alamat.
Mula-mula aku bertanya pada seorang tua yang bijaksana. Apakah ia mengenal Engkau? Ia cuma menggeleng kepala dan berkata:
Ah dia, lebih tua dari gurun lebih muda dari embun mungkin langit masih mengenalnya.
Aku melihat kanak-kanak begitu muda seperti fajar main kejaran di pantai pasir dan bertanya:
Adakah mereka melihat Engkau? Semua heran dan berkata: ia belum tiba di sini engkau datang terlalu dini.
Aku pergi ke taman kota melihat sepasang anak muda asyik-masyuk dimabuk asmara mungkinkah mereka mengenal Engkau? yang laki-laki itu berkata: ia hidup dalam dongeng dari beribu tahun lalu sisa namanya masih tercatat dalam sebuah perkamen tua.
Yang perempuan lalu menambah: sungguhpun hidup begitu indah riwayat kita teramat singkat. pengembara,mengapa mencari yang sia-sia?
Aku mencatat sementara: lebih tua dari gurun lebih muda dari embun engkau hidup dalam dongeng dari beribu tahun lalu apakah nama-Mu sia-sia dan aku datang terlalu dini?
Bertahun-tahun kemudian aku mencari seorang filsuf yang berjalan siang hari dengan lampu menyala di tangan, karena bertarung mencari yang benar. Mungkinkah dia mengenal Engkau?
Sewaktu kami di jalan bertemu, ia besarkan nyala lampu lalu mendugai lubuk mataku, berseru: pengembara, kita sama pejalan jauh menuju langit yang tak terjangkau. Tentang dia, aku hanya bisa bertanya, filsuf tak pernah punya jawaban. Mungkin sang nabi lebih tahu?
Aku pergi kepada sang nabi dan berkata dengan takzim: salam padamu pewarta firman. Aku yakin, wahai nabi, engkau tahu yang kucari, ceritakan padaku tentang Dia. Ia menjawab: aku bukan seorang nabi. Pewarta sabda hanyalah suara yang berseru di padang gurun: siapkanlah jalan Tuhan luruskanlah lorong-lorongNya. Aku belum melihat wajah-Nya dan para nabi sepanjang zaman tidak pernah melihat Dia. Dialah Cahaya Maha Cahaya yang memijari matahari dan menyinari lubuk hati. Ia menuntun orang buta, membimbing langkah pengembara. Sedang mata kita yang fana tak bisa menangkap Maha Cahaya.
Kudengar dentang lonceng gereja, memanggil umat beribadah.
Aku pergi membawa nama-Mu lalu bertanya kepada pendeta. Ia menjawab: Gereja mewarisi nama ini, memanggil Dia dalam ibadah, tapi maknanya tetap rahasia. Coba tanya si ahli kitab, mungkin dia yang lebih tahu.
Aku pergi ke ahli kitab, mengucapkan salam dan bertanya, tapi dia tak sempat mendengar. Rupanya sudah berabad-abad ia menggali ayat suci, dan sekarang terperangkap dalam guanya sendiri. Ketika akhirnya kami bertemu kata-katanya begitu pelik sampai aku tak dapat mengerti: mengapa mesti sekian sulit, membuat namamu rumpil rumit. Adakah relung luka di gua menyesatkan dia dari firman-Mu?
Aku berpikir, sebaiknya pergi kepada penyair. Dia menyambutku dalam diam, menggumam sajak yang tak selesai: pada mulanya adalah sunyi dan sunyi itu melahirkan kata dan kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah. Dan semua madah kembali ke sunyi di baris terakhir semua puisi. Tapi tak pernah seorang penyair berhasil menulis bait itu. Mungkin pertapa lebih mengenal rahasia sunyi?
Aku pergi ke padang gurun lalu menemui sang pertapa. Ia dulunya seorang kaya, menjual tuntas semua harta dan hidup menyepi mencari sunyi. Sebelum kutanyakan sepatah kata, ia mendengar debur jantungku, dan berkata: lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari rindu. Itulah Dia.
Makanya harta yang habis terjual tidak cukup membayar jalan untuk sampai ke hadiratnya. Mungkin sekali fakir miskin lebih mengenal wajah itu.
Sesampai ke pondok fakir miskin, aku langsung melupakan nama-Mu. Yang kulihat, yang kuingat, hanyalah wajah kanak-kanak dengan igauan dalam demam, menjerit pedih minta nasi sedang ibunya menjual diri untuk membeli sepotong roti. Pernah sang ayah mengedar ganja untuk memanen uang murah, tapi semua tinggal mimpi, ia pergi tak pernah kembali. Maka di sini di laut derita, bisakah seorang mengelak teriak dari kapal yang sedang karam? Apa makna semua doa, madah puji dan nyanyi ibadah bagi mereka yang kini tenggelam? Sungguh, di laut duka aku telah melupakan Engkau. Nama-Mu tak lagi penting untuk diriku, dan mungkin namaku tak pernah berarti untuk-Mu jua. Tapi mengapa di siang ini, ketika hibuk dalam letih, sesudah hilang semua pamrih, tiada terduga Engkau tiba: O Cahaya Maha Cahaya, sunyi suci yang melahirkan kata, lebih kaya dari cinta lebih miskin dari rindu, di tengah wajah kanak-kanak lapar, aku sujud menyembah Engkau.